Tuesday, May 10, 2022

Iman Kristen Bukanlah Suatu Kepercayaan Yang Buta

Sebuah pembahasan mengenai pengertian iman di dalam kekristenan menurut sudut pandang Luther dan Calvin

 


Pendahuluan: iman di dalam kehidupan sehari-hari

Kebun Binatang Ragunan adalah tempat yang penuh kenangan bagi saya ketika masih kecil dulu. Saya masih ingat ketika suatu kali berdiri di atas sebuah jembatan sambil melambai-lambaikan tangan ke atas air yang berada tepat di bawah jembatan tersebut. Saya tahu bahwa tempat itu adalah kandang buaya, tetapi saya tidak melihat ada buaya di sana. Oleh karena itu saya melambai-lambai agar menarik perhatian buaya itu, jika memang dia ada di sana.

[Baca juga: Iman Kristen mempunyai dasar yang teguh. Klik disini.]

Sementara melambai, mata saya juga melirik kesana kemari memperhatikan orang yang lewat. Sampai suatu ketika saya terkejut sekali karena buaya yang menghuni kandang itu ternyata sudah berada kurang lebih 2 meter tepat di bawah tangan saya. Ia besar sekali. Barangkali, itulah buaya terbesar yang pernah saya lihat seumur hidup saya, (paling tidak begitulah perasaan saya ketika itu). Memang buaya itu tidak dapat melukai tangan saya, tetapi saya melihat matanya yang sedang menatap dengan sorotan tajam yang membuat saya benar-benar terpaku. Matanya begitu kejam, dingin dan terasa bagaikan menembus sampai ke jantung. Sampai berhari-hari sesudahnya pun tatapan buaya itu masih menghantui setiap kali saya memejamkan mata.

[Baca juga: Dimensi Kasih Allah. Klik disini.]

Sesungguhnya, dalam kehidupan sehari-haripun pengenalan kita pada segala sesuatu yang ada disekitar kita itu memang sungguh terbatas dan sedikit. Kita tidak tahu apakah sopir angkot yang kita tumpangi itu dalam keadaan waras atau tidak. Kita tidak tahu apakah setiap makanan yang kita nikmati itu telah dibuat dengan cara yang bersih ataukah tidak. Kita tidak tahu apakah orang-orang yang berpapasan dengan kita itu merupakan orang yang baik ataukah jahat. Kita tidak tahu apakah kursi yang sedang kita duduki itu cukup kuat atau tidak, dan masih banyak lagi hal yang kita tidak tahu dan kita juga tidak mungkin senantiasa melakukan pemeriksaan terhadap ini dan itu. Sehingga mau tidak mau, kita hanya bisa belajar percaya saja pada segala sesuatu tanpa benar-benar mengenal apa yang kita percayai tersebut.

 

Pengertian iman menurut Martin Luther

Namun tidak demikian halnya dengan iman di dalam kekristenan. Martin Luther pernah menjelaskan tentang suatu dimensi dari iman yaitu sebagai hubungan yang benar dengan Allah. Dalam tulisan ini kita akan melihat lebih jauh pandangan Luther tentang iman Kristen. Menurut Luther, tidak cukup bagi seorang manusia untuk mempercayai fakta-fakta Alkitab sebagai suatu peristiwa sejarah belaka tanpa adanya hubungan secara pribadi dengan Yesus Kristus. Bagi Luther, iman yang menyelamatkan adalah suatu jenis iman atau kepercayaan yang sekaligus diikuti dengan tindakan mempercayakan diri secara pribadi kepada Yesus Kristus.

Natur dari iman yang diberikan oleh Luther tidak menyiratkan adanya suatu sikap yang tidak peduli pada ada atau tidaknya suatu evidensi atau bukti dari iman tersebut. Iman Kristen bukan merupakan kepercayaan yang buta, melainkan berbicara tentang pengenalan pada suatu Pribadi kepada siapa iman itu ditujukan. Luther pernah membuat sebuah analogi semacam ini :

Orang yang tidak memiliki iman sama seperti seseorang yang harus menyeberang lautan, namun begitu ketakutan sehingga ia tidak percaya pada kapal yang akan ia tumpangi. Maka akhirnya ia hanya diam di tempat dan tidak pernah diselamatkan, karena tidak pernah naik ke atas kapal itu dan menyeberang. Iman bukan semata-mata mempercayai bahwa sesuatu adalah benar, melainkan suatu kesiapan hati untuk bertindak sesuai dengan apa yang dipercayai, dan mengandalkan apa yang dipercayai itu. Iman bukan secara sederhana mempercayai bahwa ada sebuah kapal – termasuk di dalam iman adalah tindakan melangkah masuk ke dalam kapal itu dan mempercayakan diri kita pada kapal tersebut.[1]

Dalam analogi Luther ini, saya melihat ada tiga aspek penting dari natur[2] iman:

Aspek pertama, yaitu mempercayai, maksudnya adalah yakin atau setuju bahwa sesuatu itu benar-benar ada.

Aspek kedua adalah bertindak sesuai dengan apa yang dipercayai itu. Aspek ini merupakan suatu evidensi atau bukti yang memperkuat aspek pertama.

Aspek ketiga adalah mempercayakan. Mempercayakan tidak sama dengan mempercayai. Mempercayakan adalah suatu tindakan yang memberi diri sendiri atau bergantung pada seseorang/sesuatu yang dipercayakan. Dengan kata lain, mempercayakan adalah suatu tindakan menaruh kepercayaan pada sesuatu/seseorang. Kita bisa mempercayai sesuatu namun belum tentu dapat mempercayakan diri kita pada sesuatu yang dipercayai itu. Contohnya, kita bisa mempercayai bahwa dulu ada Pengeran Diponegoro, tetapi bagaimana mungkin kita mempercayakan diri kita pada orang yang sudah lama tiada itu? Demikianlah, mempercayai dan mempercayakan adalah dua hal yang berbeda namun sama-sama terangkum di dalam pengertian iman menurut pandangan Kristen.

Untuk sampai pada taraf mempercayakan diri pada sesuatu yang dipercayai, seseorang terlebih dulu harus memiliki suatu pengenalan atau pengetahuan terhadap apa yang dipercayai itu. Dalam natur iman menurut Luther, seseorang yang memiliki iman seharusnya sudah mengetahui apa yang ia imani, yaitu janji Allah. Sehingga otomatis orang ini juga seharusnya sudah mengetahui siapakah Allah[3] yang telah memberi janji itu.

[Baca juga: Sebuah renungan terhadap janji-janji Tuhan. Klik disini.]

Pengandalan terhadap janji Allah adalah suatu hal yang penting dalam natur iman Kristen. Persoalan yang dibicarakan dalam natur iman Kristen bukanlah berapa besar kepercayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang melainkan pada objek apakah iman itu ditujukan. Dan karena yang menjadi objek dari iman adalah janji Allah, maka pengandalan itu diletakkan di atas integritas dan kesetiaan Allah yang memberi janji tersebut. Kepribadian Allah adalah dasar utama atau dasar satu-satunya bagi iman Kristen kita.

 

Pengertian iman menurut John Calvin

Pemikiran Martin Luther tentang natur iman sejalan pula dengan pemikiran John Calvin. Dalam karyanya yang berjudul Institutes of the Christian Religion, pada buku ke tiga bab ke dua, Calvin membicarakan secara khusus tentang natur dari iman.

Pemikiran Calvin tentang iman sangat berbeda dengan pemikiran tentang iman menurut pandangan umum. Bagi Calvin, iman adalah suatu pemberian Allah, sedangkan pemikiran umum tentang iman menekankan pada respon manusia. Tanpa pengamatan yang seksama, kedua pemikiran tersebut seolah-olah nampak serupa, padahal sebenarnya mereka mempunyai titik berangkat yang berbeda. Dalam pemikiran Calvin, inisiatif iman datang dari Allah, yaitu secara khusus Roh Kudus, sedangkan dalam pemikiran umum, inisiatif iman datang dari manusia.

Menurut Calvin, ada tiga prinsip yang harus dipegang sebagai dasar bagi kita dalam memahami iman, yaitu :

Pertama, Tuhan telah memberikan kepada kita hukum-hukum yang harus dengan patuh kita kerjakan; jika kita kemudian gagal melakukan satu bagian saja dari hukum-hukum tersebut, maka hukuman berupa kematian kekal akan menimpa kita. Kedua, bukan saja sulit mematuhi hukum-hukum itu, akan tetapi juga melampaui kekuatan dan kemampuan kita, untuk memenuhi hukum itu secara sepenuh-penuhnya, sehingga, jika kita melihat hanya kedalam diri kita, dan pikirkan dalam-dalam tentang kondisi apa yang patut kita terima, maka tidak ada secercah harapan apapun yang kita miliki; kecuali dijauhkan oleh Allah, dan mengalami kematian kekal. Ketiga, telah dijelaskan bahwa hanya ada satu arti kebebasan yang dapat menyelamatkan kita dari kesulitan yang tak terperikan ini yaitu: kehadiran Kristus sebagai Penebus, yang melalui tangan-Nya, Bapa Sorgawi bersedia untuk menolong kita karena mengasihani kita melalui kebaikan dan pengampunan-Nya yang kekal; jika, secara sungguh-sungguh, dengan iman yang teguh kita merangkul pengampunan itu dan diam di dalamnya dengan pengharapan yang tak terubahkan.[4]

Bagi Calvin, iman memiliki kaitan yang erat sekali dengan keselamatan. Dan seperti halnya Luther, Calvin pun mengkritik pengertian iman yang tidak didasarkan pada pengetahuan. Bagi Calvin pengetahuan yang dimaksud adalah bukan hanya pengetahuan akan Tuhan semata, tetapi juga pengetahuan akan kehendak-Nya. Calvin berkata :

Kita memperoleh keselamatan ketika kita mengetahui bahwa Allah adalah Bapa yang Mahapengampun, dan bahwa Kristus telah diberikan pada kita sebagai pembenaran bagi kita, penyucian hidup kita dan pemberian hidup itu sendiri. Dan pengetahuan semacam itu hanya mungkin terjadi karena adanya karya Yesus Kristus yang mempersatukan kita dengan Allah (2 Kor 5:18-19). Melalui pengetahuan seperti ini, saya katakan, bukan berdasarkan perasaan semata-mata, kita memperoleh jalan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.[5]

Berdasarkan kutipan dari kata-kata Calvin tersebut, kita tahu bahwa beriman bukanlah sekedar mengaku percaya, tanpa adanya pemahaman yang jelas terhadap apa yang diakui tersebut. Iman Kristen haruslah memiliki dasar pengakuan yang jelas. Sebagai tambahan, Calvin juga berkata:

Tidak cukup bagi seseorang untuk secara implisit atau tersamar mempercayai apa yang tidak dimengerti olehnya dan tidak melakukan penyelidikan apapun dari yang ia percayai itu. Melainkan orang itu harus memiliki suatu pengakuan yang jelas terhadap kebaikan Ilahi yang menjadi dasar di mana pembenaran terhadap kita diletakkan.[6]

 

Kesimpulan

Betapa besarnya perbedaan iman sejati menurut pandangan Kristen dengan pengertian dari iman yang dipahami secara umum.

Sebagai orang Kristen kita perlu memahami seperti apakah bentuk dan kualitas dari iman yang kita miliki. Dan yang lebih penting lagi adalah berusaha memahami dan mengenal Pribadi Allah sendiri. Kepada Pribadi inilah kita meletakkan iman kita.

Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh memiliki sikap acuh tidak acuh terhadap apa yang kita imani. Untuk menjadi Kristen sejati tidak ada suatu formula ucapan yang bersifat mekanikal bagi uman kita. Iman orang Kristen adalah suatu dinamika hidup yang didasarkan pada pengenalan, kesadaran, pemahaman, kemauan dan pada akhirnya suatu hubungan (relationship). Dan hubungan yang hidup itu, sama sekali bukan berasal dari usaha atau jasa-jasa kita melainkan semata-mata pilihan Allah yang berdaulat di dalam anugerah-Nya.

Tidak jarang orang secara keliru meng-gampang-kan arti iman yang menyelamatkan sebagai: “Pokoknya percaya Yesus pasti selamat, bukankah Roma 10:9 mengajarkan jika kita mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan maka kita pasti diselamatkan?” Ini cara pandang yang keliru.

Keselamatan di dalam Tuhan Yesus memang “semudah itu” tetapi juga “tidak semudah itu.” Artinya, melalui iman sajalah kita diselamatkan (terdengar gampang bukan?), namun bukan iman sembarang iman (nah, inilah susahnya), melainkan iman yang disertai dengan pengenalan akan Allah dan disertai dengan tanda-tanda perbuatan yang sesuai dengan iman itu.

Di zaman ketika Paulus menulis surat kepada jemaat di Roma, penganiayaan sedang berlangsung. Orang yang berani mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan akan menghadapi risiko hukuman mati. Jadi jika orang ini tetap berani mengaku Yesus sebagai Tuhan sekalipun diancam kematian, maka bukankah itu suatu petunjuk bahwa orang tersebut sudah memiliki iman sejati yang didasarkan pada pengenalan yang baik terhadap Sang Juruselamat? Jika ancaman kematian saja tidak mampu memisahkan dirinya dari Kristus, bukankah ini suatu petunjuk atau tanda-tanda bahwa orang itu telah sungguh-sungguh mengenal Dia? Akan tetapi, pada masa ini ketika aniaya semacam dulu itu (relatif) sedang tidak berlangsung, bukankah merupakan suatu kesalahpahaman jika kita secara asal sebut “percaya Yesus saja” maka itu berarti kita sudah memiliki iman yang menyelamatkan?

Mari kita introspeksi, sudahkah iman yang menyelamatkan tersebut kita miliki? Semoga tulisan yang singkat dan sederhana ini dapat menjadi batu loncatan untuk merenungkan bentuk dan kualitas iman kita masing-masing. Dan melalui perenungan itu, kiranya iman kita semua dapat semakin diperkaya dan dikokohkan.

Tuhan Yesus memberkati. (Oleh: izar tirta)


[1] Martin Luther, The Freedom of a Christian (Weimar: Bohlaus, 1897), 25.26-26.9.

[2] Kata “natur” punya beberapa arti, di antaranya adalah sifat; watak; pembawaan. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 684.

[3] Sebagai manusia yang terbatas tentu tidak mungkin kita mencapai pengetahuan selengkap-lengkapnya tentang Allah yang tak terbatas. Akan tetapi bukan berarti pula bahwa kita tidak mungkin mengetahui sedikitpun tentang Dia. Pengetahuan awal kita tentang Allah dan karya-Nya berasal dari kesaksian Alkitab dan itu amat dibutuhkan dalam memutuskan secara sadar untuk mengikut Dia. Pengetahuan ini akan terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan rohani kita melalui pembacaan Kitab Suci.

[4] John Calvin, Institutes of Christian Religion, (eds.) John T.McNeill, John Baillie and Henry P.Van Dusen, (trans.) Ford Lewis Battles (Louisville: Westminster John Knox Press, 2002), 542.

[5] Ibid., 545.

[6] Ibid.