Tuesday, July 27, 2021

Apakah yang menjadi puncak kehidupan orang Kristen?

Eksposisi singkat dari Surat 2 Petrus 1:7
Apakah yang menjadi ciri utama dari seorang yang beriman sejati?
Apakah yang menjadi sasaran akhir yang ingin dicapai melalui iman kita sebagai orang Kristen?

 

Oleh: Izar Tirta

Apakah yang menjadi puncak kehidupan orang Kristen

 

Pendahuluan

Apakah puncak kehidupan orang Kristen tercapai apabila pada akhirnya ia menjadi kaya dan sejahtera? Apakah puncak kehidupan orang Kristen tercapai jika ia punya segudang kesibukan pelayanan? Apakah puncak kehidupan orang Kristen ditandai dengan jenjang pendidikannya yang sangat tinggi? Apakah puncak kehidupan orang Kristen baru tercapai apabila ia mati sebagai martir? Menurut Rasul Petrus tidak demikian.

Tulisan ini merupakan renungan yang digali dari Surat 2 Petrus 1:7 di mana dalam ayat ini Rasul Petrus menjelaskan suatu karakterisitik yang sangat penting dari iman Kristen, yaitu kasih kepada saudara dan kasih kepada semua orang. Pasti bukan suatu kebetulan apabila Petrus menempatkan karakteristik kasih ini di bagian yang paling akhir, sebab mengasihi sesama, mengasihi saudara seiman dan apalagi mengasihi semua orang, sama sekali bukan perkara yang mudah untuk dikerjakan. Banyak orang yang mudah untuk mengatakannya, tetapi untuk melakukannya? Pasti kita akan kesulitan di dalam menghayati kasih kepada saudara dan kasih kepada semua orang apabila tidak terlebih dahulu merenungkan dan berusaha menghayati karakteristik lain yang telah disebutkan oleh Petrus di dalam ayat-ayat sebelumnya. [Baca: Apakah hubungan antara iman, kebajikan dan pengetahuan? Klik disini]

Kiranya melalui renungan dari Surat 2 Petrus 1:7 ini kita dapat semakin mengerti apakah yang menjadi arah dan tujuan dari iman kita kepada Yesus Kristus. Kiranya melalui renungan ini kita semakin memahami apa dan bagaimanakah ciri-ciri dari iman Kristen yang sejati itu.

 

Ayat Firman Tuhan

dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. (2 Petrus 1:7)

 

Membaca tulisan Petrus, khususnya dalam 2 Petrus 1:7 ini, kita tidak terlepas dari sebuah pertanyaan di dalam benak kita: “Apakah menjadi orang saleh saja belum cukup sehingga masih harus ditambahkan dengan sesuatu yang lain?” Menurut Petrus jawabannya adalah belum.

Menurut Rasul Petrus kesalehan bukan merupakan tujuan akhir dari iman Kristen. Itu sebabnya kesalehan pun masih perlu ditambahkan dengan suatu kualitas yang lain, yaitu kasih akan saudara-saudara. Ini tentu saja bukan berarti bahwa kesalehan itu tidak penting, melainkan berarti bahwa kesalehan merupakan sebuah kualitas rohani yang belum lengkap apabila di dalam kesalehan itu tidak ada kasih kepada saudara dan kasih kepada semua orang.

 

Mengapa kita perlu menambahkan kesalehan itu dengan kasih akan saudara-saudara?

Di dalam tulisan sebelumnya kita sudah merenungkan tentang makna dari kesalehan, yaitu dimana kesalehan yang sejati itu selalu ada hubungannya dengan pengenalan akan Allah yang sejati pula. Kita tidak bisa merenungkan tentang kesalehan dalam keadaan yang terlepas dari pengenalan akan Allah yang sejati tersebut. [Baca tulisan sebelumnya: Apa yang dimaksud dengan pengendalian diri, ketekunan dan kesalehan? Klik disini]

Tanpa adanya suatu relasi, atau pengenalan yang intim dengan Allah yang menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus, maka kesalehan manusia dapat dipastikan akan salah arah. Secara agamawi, orang Farisi dapat dikatakan sebagai orang yang saleh, mereka berusaha hidup sesuai dengan aturan agama. Tetapi ketika Allah sendiri datang menyatakan diri-Nya di dalam Pribadi Yesus Kristus, ternyata orang-orang Farisi justru tidak menerima Dia, dan bahkan mendorong pemerintah Romawi untuk menyalibkan Dia.

Kesalehan di dalam menjalankan perintah agama tidak serta merta merupakan tanda dari seseorang yang mengenal Allah. Bahkan bukan merupakan hal yang mustahil apabila kesalehan di dalam beragama justru melahirkan radikalisme yang keras dan kejam terhadap orang lain yang memiliki kepercayaan berbeda. Tuhan Yesus mengingatkan kita semua akan hal itu ketika Ia berkata: … akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah ... (Yohanes 16:2)

Oleh karena itu, kesalehan kita pun harus didasarkan pada pengenalan akan Pribadi Allah itu. Dan yang dimaksud dengan pengenalan adalah terjalinnya hubungan antar pribadi, yaitu pribadi kita dan Pribadi Allah. Orang yang mengenal Allah, menjalin kehidupan yang timbal balik dengan Tuhan. Mereka mendengar Tuhan berbicara melalui Alkitab, mereka juga menyampaikan isi hati mereka kepada Tuhan di dalam doa. Manusia menjadikan Tuhan bukan semata-mata sebagai objek penyembahan, tetapi sungguh-sungguh menjadi Sosok Pribadi yang senantiasa terlibat di dalam kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya melalui relasi pribadi ini kita belajar mengenal kasih Allah secara nyata dan pada akhirnya mulai belajar untuk mengasihi Allah juga.

Kita tidak dipanggil untuk menjadi orang yang saleh secara agamawi, tetapi tidak memiliki kasih. Bagi Alkitab konsep kesalehan yang tanpa kasih adalah sesuatu yang sangat asing. Kesalehan kita tidak ada artinya jika tidak menjadikan kita sebagai orang yang hatinya penuh dengan kasih. Inilah tujuan dari segala kesalehan kita di hadapan Tuhan. Inilah puncak dari kehidupan orang Kristen yang sejati.

Kita tidak dipanggil untuk menjadi saleh dalam arti merasa berbeda dengan orang lain. Menjadi saleh bukan berarti merasa lebih baik, lebih suci, lebih mulia dari orang lain. Ukuran kesalehan kita adalah dari sikap yang semakin mengasihi orang lain.

Tidak seorangpun di antara kita yang tahu bagaimana mengasihi, tetapi kita belajar dari Allah kita yang adalah sumber kasih itu. Di dalam tulisan Paulus kita belajar bahwa kita diselamatkan oleh Allah juga berdasarkan kasih karunia. [Baca: Apa arti perkataan “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan”? Klik disini]

Kasih yang menyelamatkan itulah yang mendorong kita untuk belajar mengasihi Dia. Menarik bahwa dalam bagian ini kasih ditempatkan di bagian belakang. Setelah ada iman yang benar, setelah ada kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan dan kesalehan, baru membicarakan kasih. Sebab tanpa semua perjalanan rohani ini, kasih yang timbul dalam diri manusia mungkin sekali bukan kasih yang dari Allah.

Kasih tanpa iman yang benar, dapat merupakan kasih yang salah arah. Orang dapat saja mengasihi sosok ilahi tertentu yang dia percayai sebagai kebenaran, padahal bukan. Kasih tanpa kebajikan, dapat berupa kasih yang terkotak-kotak antara like and dislike. Seorang Hitler yang kejam pun bisa mengasihi pacarnya. Seorang diktator pun dapat mengasihi anaknya. Tetapi yang demikian pasti bukan kasih yang lahir dari iman dan bukan kasih yang lahir dari kebajikan.

Kasih tanpa pengetahuan juga salah arah, orang bisa mengarahkan kasihnya melalui kesetiaan dalam berdoa kepada Maria, atau para rasul atau orang suci lainnya, tanpa menyadari bahwa itu adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab. Kasih yang tanpa pengetahuan yang benar juga bisa menyebabkan seseorang mengasihi sosok Kristus, tetapi bukan Kristus yang sejati, melainkan Kristus yang diciptakan oleh imaginasinya sendiri.

Kasih tanpa penguasaan diri bisa menjerumuskan orang pada radikalisme yang sulit menerima orang lain yang berbeda. Bahkan sulit menerima kenyataan ketika sesama yang kita kasihi itu ternyata tidak membalas kasih kita.

Kasih tanpa kesalehan adalah kasih yang tidak berkait dengan pribadi Allah. Kita mengasihi manusia karena kita mengasihi Allah. Kita mengasihi manusia, karena kita terlebih dahulu merasakan kasih Allah. Tidak ada orang yang sanggup mengasihi sesamanya dengan benar, jika tidak terlebih dahulu menerima cinta kasih dari Allah.

 

Siapakah yang dimaksud dengan saudara-saudara di dalam 2 Petrus 1:7 ini?

Istilah saudara memiliki cakupan arti yang umum maupun arti yang khusus. Di dalam arti yang khusus pun istilah saudara dapat dipahami sebagai hubungan darah daging di dalam satu garis keturunan, namun dapat pula dipahami sebagai hubungan di dalam satu iman kepada Yesus Kristus.

Di dalam kisah Kain dan Habel, kita tahu bahwa mereka berdua adalah saudara kandung dari Adam dan Hawa. Meskipun demikian salah seorang dari mereka sama sekali tidak melihat saudaranya sebagai sesama manusia, sebab sebagai saudara yang lebih tua Kain justru membunuh Habel [Baca: Mengapa Kain membunuh Habel? Klikdisini]

Istilah saudara di dalam tulisan Petrus ini tidak dipahami secara harafiah bahwa harus merupakan saudara dalam satu garis keturunan, melainkan saudara dalam arti sama-sama percaya kepada Yesus Kristus. Kita tahu bahwa tulisan Petrus ini merupakan sebuah surat yang ditujukan kepada jemaat, yaitu sekumpulan orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Petrus ingin jemaat melihat sesamanya itu sebagai saudara, bukan semata-mata sebagai kenalan, atau apalagi sebagai orang lain.

Dan sebagai saudara, Petrus ingin agar jemaat dapat saling mengasihi, saling memperhatikan dan saling tolong menolong. Ini bukan perkara yang pasti akan mudah untuk dikerjakan, sebab sekalipun jemaat itu sama-sama orang percaya, tetapi mereka juga adalah orang berdosa yang bisa melukai sesamanya. Meskipun demikian, Petrus ingin agar kasih kepada sesama suadara seiman ini harus lebih diprioritaskan. Sebab sebagai sesama orang percaya, jemaat juga merupakan satu kesatuan tubuh Kristus.

Jika kita kesulitan untuk mengasihi sesama kita, setidaknya kita perlu sungguh-sungguh belajar untuk mengasihi tubuh Kristus. Sebab bagaimana mungkin kita dapat mengasihi Kristus, yang secara fisik sudah tidak terlihat, tetapi kita tidak dapat mengasihi saudara seiman yang adalah tubuh-Nya di dunia ini?

 

Meningkatkan kasih kita kepada saudara seiman menjadi kasih kepada semua orang

Mengasihi saudara seiman seharusnya lebih diprioritaskan daripada mengasihi semua orang, sebab saudara seiman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Kristus. Apabila kita sulit mengasihi saudara seiman, maka dapat dipastikan bahwa akan sangat sulit pula untuk mengasihi orang lain yang tidak sepikiran dengan kita. Ini adalah hal yang sangat realistis.

Disisi lain, Petrus ingin mengingatkan bahwa mengasihi saudara seiman saja belum merupakan tujuan akhir dari perjalanan kehidupan orang Kristen. Di dalam tulisan Yohanes yang sangat terkenal, kita belajar bahwa Allah adalah Dia yang mengasihi dunia ini dengan kasih yang besar. [Baca: Renungan dari Yohanes 3:16. Klikdisini]

Sebagaimana Allah menaruh kasih kepada dunia ini, yang memberikan matahari kepada orang baik dan orang jahat, demikian pula kita diundang untuk mengasihi semua orang. Tuhan Yesus bahkan mengajarkan kita untuk mengasihi musuh-musuh kita sekalipun. Musuh adalah orang-orang yang membenci kita karena kehidupan kita yang semakin serupa Kristus. Kepada orang-orang semacam inipun Tuhan ingin kita belajar mengasihi.

Kemampuan semacam ini tidak muncul dalam satu malam. Dibutuhkan latihan rohani yang tekun dan usaha yang sungguh-sungguh untuk dapat memiliki hati seperti ini. Kita boleh bersyukur memiliki Kristus yang memiliki kasih sedemikian besar.

Di sisi lain, biarlah kita juga terdorong untuk menjadi serupa dengan Kristus dalam hal mengasihi. Salah satu bentuk dari kasih kita kepada sesama adalah dengan jalan bersaksi tentang Kristus kepada orang-orang yang belum percaya. [Baca: Bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus. Klik disini]

 

Kesimpulan

Karakterisitik ini dapat dikatakan merupakan ciri utama dari seseorang yang memiliki iman yang sejati. Kekristenan seharusnya bukan dikenal karena kekayaannya, kekristenan seharusnya bukan dikenal karena berisi orang-orang yang cerdik pandai, kekristenan seharusnya bukan dikenal dari besarnya kekuasaan gereja, kekristenan seharusnya dikenal dari sikapnya yang penuh kasih kepada sesama saudara dan penuh kasih kepada semua orang.

Menurut Alkitab, setiap orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus pasti memiliki ciri-ciri tertentu yang menyertai dirinya. Dan salah satu ciri paling penting dari hidup seorang Kristen adalah bahwa mereka belajar untuk mengasihi saudara-saudaranya dan belajar untuk mengasihi semua orang, bahkan orang yang membenci sekalipun. Dapat dikatakan bahwa inilah puncak dari kehidupan seorang Kristen. Namun tentu saja hal ini bukan semudah membalikkan telapak tangan, oleh karena itu biarlah kita bersandar kepada kasih karunia Allah dan berusaha mengikuti nasihat Petrus di dalam Suratnya ini.

 

Tuhan Yesus memberkati. Amin.