Monday, May 17, 2021

Ketika Bapa yang baik mengizinkan penderitaan


Oleh; Izar Tirta

Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah merenungkan penderitaan Kristus di atas kayu salib. Tuhan bukan saja disiksa secara fisik, melainkan juga dihina dan dijadikan sebagai bahan lelucon yang kejam oleh manusia. Dalam tulisan kali ini kita akan melihat apa reaksi Tuhan kita terhadap segala kesakitan yang dialami-Nya. Apakah Tuhan Yesus kemudian memaki-maki orang yang melakukan kekejaman pada-Nya? Apakah Tuhan Yesus mengancam para penyiksa-Nya? Ataukah Tuhan Yesus diam saja karena penderitaan yang begitu dalam dan sangat menyakitkan?


Alkitab menyaksikan kepada kita bahwa Tuhan Yesus tidak memaki-maki, pun Tuhan Yesus tidak berdiam diri seribu bahasa karena terlalu pedih, terlalu lelah dan terlalu kecewa. Sebaliknya dari mulut Tuhan Yesus keluar perkataan: Ya Bapa, ampunilah mereka. (Lukas 23:34)


Ini adalah ucapan yang sungguh-sungguh menakjubkan, bukan saja karena isinya berupa suatu pengampunan, melainkan juga karena perkataan semacam ini keluar dari mulut seseorang yang menderita secara hebat. Kalau keadaan diri kita sedang baik atau sedang mujur, jauh lebih mudah bagi kita untuk mengampuni orang lain. Tetapi kalau keadaan kita sedemikian tersiksa, jangankan mengampuni, berbicara dengan mereka pun kita segan.


Penderitaan cenderung membuat kita berpusat pada diri sendiri, mengasihani diri sendiri, sehingga kita tidak punya kekuatan untuk berpikir bagi orang lain, berbicara pada orang dan bahkan berbicara pada Allah sekalipun.

 

Ya Bapa….


Ketika penderitaan datang menimpa, tidak sedikit bahkan orang yang akhirnya menghujat Allah, meninggalkan Dia, tidak mau lagi datang kepada-Nya dan berhenti beribadah kepada-Nya? Beberapa orang bahkan memilih untuk menjadi atheis (misalnya Charles Templeton yang pernah saya singgung dalam salah satu tulisan saya). Mengapa hal seperti itu bisa terjadi?


Penghujatan dan atheisme tidak ayal lagi disebabkan karena kita manusia kurang memiliki pengenalan akan Allah yang sejati. Manusia membangun sendiri konsep tentang Allah tanpa melihat apa yang Tuhan sendiri katakan tentang diri-Nya melalui Alkitab.


Manusia sering terjebak di dalam pertanyaan: Jika Allah itu mahabaik, mengapa ada penderitaan di dunia? Apakah Dia mahabaik namun tidak mahakuasa? Ataukah Dia mahakuasa namun tidak mahabaik? Ini adalah pertanyaan klasik yang merupakan gejala paling nyata bahwa kita belum mengenal Dia yang diberitakan oleh Alkitab.


Menurut hikmat manusia, jika Allah itu baik maka di dalam kebaikan-Nya itu Ia tidak mungkin mengizinkan penderitaan macam apapun datang kepada manusia. Manusia adalah ciptaan yang istimewa, lebih mulia dari ciptaan yang lain sehingga Allah akan melakukan apapun untuk melindunginya. Secara sepintas, seperti tidak ada yang salah dari kalimat-kalimat tersebut, bukan? Tapi itu adalah hikmat manusia semata-mata, sekalipun manis didengar dan terasa masuk akal, tetapi bukan itu yang diajarkan oleh Alkitab.


Menurut hikmat Allah, Allah itu baik dan di dalam kebaikan-Nya itu Ia dapat mengizinkan penderitaan datang menimpa manusia. Bahkan sejak awal penciptaan pun, Alkitab sudah mengajarkan bahwa Allah berkuasa atas terang maupun atas kegelapan, atas daratan yang kokoh maupun atas lautan yang bergelora. Bahkan kepada manusia pun, Tuhan sudah memberi dua kemungkinan, jika taat akan tetap hidup bersama Allah di dalam Firdaus, jika tidak taat maka akan mati. Potensi penderitaan bahkan kematian  semacam ini sudah diperingatkan sejak awal sekali.


Manusia bukan diberi Fidaus saja, tapi diberi kemungkinan untuk diusir. Manusia bukan hanya diberi hidup, tetapi juga diberi kemungkinan untuk mati. Dan untuk kesemuanya itu, manusia bukan tidak diperingatkan, tetapi manusia memilih untuk tetap melanggar ketetapan Tuhan. Oleh karena itu, jika sekarang di dunia ini ada penderitaan, maka patutkah manusia merasa heran atau bahkan mempersalahkan Allah?


Kitab Ayub adalah contoh lain yang mengajarkan bahwa Allah dapat mengizinkan kesulitan dan penderitaan datang menghampiri manusia. Meskipun kita membaca ada iblis di dalam kisah itu, tetapi jangan lupa bahwa iblis pun tidak dapat bertindak apa-apa jika bukan Allah sendiri yang memberi izin?


Bahkan orang Kristenpun kadang berpikir bahwa segala yang baik datang dari Allah tetapi segala yang buruk datang dari iblis. Seolah-olah iblis adalah lawan tanding yang sepadan dengan Tuhan. Pikiran semacam itu dimiliki oleh istri Ayub, tetapi kemudian sudah dikoreksi oleh Ayub sendiri ketika ia berkata: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?"(Ayub 2:10).


Apa arti perkataan Ayub yang dapat kita pelajari? Dari Ayub kita belajar bahwa sebagai orang Kristen kita harus dapat menerima keputusan Allah entahkah itu membawa dampak baik bagi kita, ataukah meembawa dampak yang sangat tidak menyenangkan bagi kita. Dan bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas dunia inu, entah kelihatannya baik entah kelihatannya buruk, semua itu tidak mungkin terjadi di luar kedaulatan Allah. Entah orang Kasdimm entah orang Mesirm bahkan entah iblis sekalipun tidak mungkin dapat berbuat apapun tanpa seizin dan sepenentuan dari Allah.


Apakah cara berpikir seperti Ayub ini merupakan kesalahan? Sama sekali tidak. Bahkan Alkitab sendiri memberi penilaian terhadap perkataan Ayub tersebut, yaitu: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.”


Apa yang dikatakan Ayub adalah kebenaran. Kita orang Kristenlah yang sering mengacuhkan prinsip ini karena serasa kurang enak didengar, kurang sesuai dengan logika, terlalu keras sehingga sangat tidak populer di mata dunia.


Jika demikian, lalu apakah yang Alkitab ingin sampaikan kepada kita melalui kenyataan bahwa Allah dapat mengizinkan penderitaan datang kepada manusia? Alkitab mengajarkan pada kita bahwa di dalam penderitaan, kita justru harus datang dan berurusan dengan Allah, bukan dengan orang lain, bukan dengan iblis, bahkan bukan dengan penderitaan itu sendiri.


Penderitaan itu harus membawa kita berhadapan langsung dengan Pribadi Tuhan. Ayub melakukan hal itu. Dan kini Sang Anak Allah yang menderita itupun melakukannya.


Apa yang kita lakukan ketika penderitaan datang meenghampiri? Marah pada orang lain? Marah pada Tuhan? Menyalahkan keadaan? Mencari penjelasan? Alkitab mengajarkan bahwa hal pertama yang harus kita lakukan adalah datang menemui Tuhan secara Pribadi dan berseru: Ya Bapa…


Dengan memanggil Sang Bapa, Tuhan Yesus ingin kita juga belajar bahwa di dalam penderitaan sehebat apapun, janganlah menjauh dari Bapa, melainkan teruslah datang kepada-Nya. Tuhan Yesus sadar betul bahwa semua penderitaan ini adalah kehendak Bapa bagi-Nya, bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan, bukan terjadi karena sebuah kesialan yang tak terduga.

Kiranya Tuhan menolong kita untuk berani senantiasa datang kepada-Nya dalam situasi apapun. Amin.


Versi Audio dari tulisan ini dapat didengarkan melalui Spotify maupun Anchor:

Baca juga:
Ada 8 alasan mengapa Yesus Kristus menjadi Manusia? Klik disini
Penemuan Kubur Yesus Kristus. Klik disini
Apa yang dapat kita pelajari dari Surat 2 Petrus? Klik disini
Apa maksud dari bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus? Klik disini