Tuesday, January 8, 2019

Eksposisi singkat terhadap Lukas 1:1-4

Apa yang dapat kita pelajari dari Lukas 1:1-4?
Mengapa Lukas begitu terbeban untuk menulis kisah tentang Yesus Kristus?
Apa yang dapat kita wartakan kepada sesama di jaman ini melalui Lukas 1:1-4?





Oleh: Izar Tirta

Kitab ini, sesuai namanya ditulis oleh Lukas kira-kira tahun 60 Masehi dari kota Roma, dan merupakan sebuah surat yang ditujukan kepada beberapa pihak, yaitu:
  • Teofilus, pada ayat 1 atau ayat 3. [Baca juga: Siapakah Teofilus? Klik disini]
  • Orang Non-Yahudi (Gentiles), secara spesifik dalam hal ini adalah orang Yunani, walau tidak terbatas pada itu.

Beberapa hal yang ditekankan dalam kitab ini adalah:
  • Sifat kemanusiaan Yesus, Lukas menjelaskan bahwa Yesus bukan semacam manusia setengah dewa (demigod) seperti yang dipahami oleh kepercayaan Yunani tentang Hercules, Poseidon dll.
  • Identitas Yesus sebagai Anak Manusia, siapakah sebetulnya Anak Manusia?
  • Hal-hal apakah yang menjadi tanggung jawab seorang manusia di hadapan Allah. (hal tersebut diperlihatkan oleh Lukas melalui teladan Yesus Kristus yaitu sebagai wakil dari umat manusia yang berelasi dengan Allah-Nya)

Siapakah Lukas sang penulis Injil?
  • Tradisi Kristen menyebutkan bahwa ia adalah seorang Yunani
  • Rekan sepelayanan Paulus (Filemon 1:24)
  • Seorang dokter (Kolose 4:14), sejarahwan, investigator dan interviewer.
  • Bukan rasul, bukan pula saksi mata langsung dari Yesus Kristus.
  • Seorang yang juga menulis kitab lain yaitu Kisah Rasul

Ayat Firman Tuhan
(1) Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita,  (2) seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman.  (3) Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu,  (4) supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar. (Lukas 1:1-4)

Ayat-ayat di atas cukup self explaining, jika kita baca sepintas. Namun demikian bila kita gali lebih dalam, kita akan menemukan banyak kekayaan Alkitab dalam tulisan singkat tersebut.

Teofilus: siapakah dia?
 
Ada banyak teori tentang siapakah Teofilus ini. Ada yang bilang dia adalah seorang Yunani, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah seorang Romawi, ada yang pula yang berpendapat bahwa dia adalah seorang lawyer yang membela Paulus dalam persidangan. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa Teofilus tidak menunjuk pada orang tertentu, siapapun dia, melainkan menunjuk pada siapa saja yang mengasihi Allah. (saya pribadi setuju pada pendapat yang terakhir ini)

Pendapat bahwa nama tersebut tdak mengacu pada orang tertentu adalah karena istilah Teofilus sendiri berasal dari kata Θεόφιλε (yang sebetulnya terdiri dari dua kata yaitu Teos dan Phileos yang artinya “orang yang mengasihi Allah.”)

Dari Lukas yang berusaha menulis kepada orang yang mengasihi Allah tersebut, kita belajar suatu prinsip: Kasih kepada Allah telah mendorong pula orang lain untuk melakukan sesuatu yang baik dan berguna.

Dalam hal ini, Teofilus (orang yang mengasihi Allah tersebut) telah menggerakkan Lukas untuk menuturkan kisah tentang Yesus secara teratur berdasarkan interviu dengan saksi mata dan penyelidikan secara seksama untuk memastikan bahwa kisah itu sungguh-sungguh merupakan kebenaran.

Ada prinsip tertentu di dalam Alkitab bahwa kasih seseorang pada Tuhan, atau kasih antara Tuhan kepada manusia, memiliki kemampuan untuk menarik orang lain yang melihat kasih itu untuk turut datang kepada Tuhan. Yesus pernah berkata dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku." (Yohanes 12:32)

Penting untuk dipahami, bahwa kekristenan bukanlah suatu agama seperti semua agama lain. Kekristenan mementingkan atau bahkan bertumpu pada suatu prinsip penting, yaitu Relasi Kasih. [Baca juga: Apakah sasaran paling utama dari kehidupan orang Kristen? Klik disini]

Relasi atau hubungan itu bisa macam-macam bentuknya, bisa baik, bisa juga buruk, bisa juga datar. Tetapi kekristenan mengajarkan relasi yang bersifat kasih. Diawali dengan Kasih Allah kepada manusia, dan dilanjutkan dengan Allah mendorong manusia untuk juga belajar mengasihi Dia.
 
[Baca juga: Seberapa besarkah kasih Allah akan dunia ini? Klik disini]

Kepercayaan lain, di luar Alkitab, menekankan pada perintah dan peraturan ini dan itu. Kekristenan, sekalipun juga mengajarkan tentang hal-hal yang harus dilakukan, dan hal-hal yang harus ditinggalkan, tetapi kekristenan menekankan bahwa semua itu harus kita lakukan atas dasar kasih. Ketaatan kita pada Bapa, Yesus dan Roh Kudus bukanlah suatu ketaatan yang bersifat buta seperti robot atau mesin. Melainkan ketaatan yang didasarkan atas hubungan kasih. Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” (Yohanes 14:21)


Mengapa Teofilus disebut sebagai "yang mulia?" (Yn: κράτιστε)
 
Ini pasti bukan kalimat basa-basi seperti yang sering kita lakukan dalam kehidupan sosial kita. Lukas tidak mungkin basa-basi, atau setidaknya kita tahu bahwa Roh Kudus yang menuliskan kata-kata ini di dalam hati Lukas, tidak mungkin basa-basi.

Di sini kita belajar suatu prinsip kekristenan yang penting yaitu sikap penghargaan kepada orang yang menghasihi Allah ini.

Sikap Lukas yang memuliakan orang lain, sejalan dengan prinsip dan pikiran Paulus yang pernah menulis “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;” (Filipi 2:3)

Dunia mengajar kita untuk berkompetisi dengan orang lain. Dan dalam sebuah kompetisi, kita tentu berusaha untuk menjadi pemenang. Kita melihat orang lain harus lebih rendah dari kita, entah itu dalam hal materi, kepandaian ataupun spiritual. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam ayat di atas, kita harus belajar untuk menganggap orang lain lebih utama dari diri kita sendiri. Sikap memuliakan orang lain adalah sikap khas Kristen.

Tidak mudah untuk menganggap orang lain lebih mulia dari kita. Kita cenderung merasa diri kita lebih baik dari orang lain atau lebih rohani. Tetapi ironisnya bahkan Allah yang Mahasuci dan Mahamulia pun menghargai manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. (Mazmur 8:4-5)

Betapa besar dosa kita di hadapan Tuhan bukan? Sehingga untuk menganggap orang lain lebih mulia dari kita saja sulitnya bukan main. Betapa tergantungnya kita pada anugerah Tuhan sehingga untuk melakukan sesuatu yang baik dan kelihatan sederhana, seperti menganggap orang lain lebih mulia saja, kita ternyata kesulitan sekali. Bukan cuma Anda, saya pun merasakan kesulitan demikian. Kita harus bertobat.
 
[Baca juga: Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini]

Itu sebabnya selain kita minta anugrah dari Tuhan, kita juga belajar untuk memuliakan orang lain. Caranya bagaimana? Caranya adalah dengan terlibat di dalam pelayanan.

Melayani orang lain, asalkan dilakukan dengan jiwa yang humble, dan motivasi yang murni sebetulnya adalah suatu cara untuk belajar melihat orang lain lebih mulia dari kita.

Jika di dalam pelayanan, kita justru melihat orang lain lebih rendah, atau melihat diri kita sebagai semacam bos, maka pasti ada yang salah di dalam cara kita melayani. Sikap hati seperti itu harus kita koreksi karena tidak sesuai dengan jiwa Alkitab.

Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita
 
Peristiwa tentang Yesus sudah pasti menjadi semacam berita yang menghebohkan masyarakat. Dan pada waktu itu ada banyak orang yang mencoba menyusun suatu berita. Ada berita yang benar seperti tulisan Markus maupun mungkin Matius. Ada pula mungkin berita yang simpang siur, dari mulut ke mulut, bersifat lisan maupun tulisan.

Dan kita tidak akan pernah tau ada berapa banyak dan berita mana saja yang beredar pada saat itu. Tetapi mungkin tidak terlalu penting bagi kita untuk mengetahui ada berapa banyak berita dan berita mana saja, karena Tuhan sendiri tidak berkenan memelihara banyak berita. Akhirnya hanya 3+1 saja yang diizinkan Tuhan untuk terus dipelihara hingga kini yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. (3+1, karena pada waktu Lukas telah selesai menulis, Yohanes belum mulai menulis)

seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu,  supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.

Lukas sangat mungkin sudah pernah bertemu dengan para rasul, sudah pernah berbicara dengan mereka dan sudah pernah membaca tulisan Markus atau pun Matius. Dan sangat mungkin Lukas juga tidak meragukan tulisan dua orang itu. Namun Lukas tetap terbeban untuk mencari tahu sendiri tentang hal tersebut dengan cara melakukan penyelidikan yang seksama.

Sikap untuk mencari kebenaran seperti ini adalah sikap yang positif, asalkan bukan di dasarkan pada sikap curiga atau tidak menaruh kepercayaan pada orang lain. Tapi kita yakin bukan itu sikap yang dimiliki Lukas pada waktu itu.

Kita yakin bahwa Lukas melakukan penyelidikan yang seksama adalah karena ia pertama-tama sangat tertarik pada kebenaran itu sendiri. Dan karena ia hidup pada zaman dimana para saksi mata itu masih banyak yang hidup, maka Lukas bergairah sekali untuk menemui mereka dan mendengar sendiri kisah itu dan memeriksa sendiri kisah itu dengan mata kepalanya sendiri.

Prinsip yang penting untuk disoroti di sini adalah beban di hati Lukas yang mau mencari tahu kebenaran dari berita-berita tersebut. Lukas ingin mengalami sendiri apa yang dialami oleh para saksi mata tersebut. Ini sekali lagi adalah sikap yang baik.

Kekristenan, selain tadi dikatakan dilandaskan pada hubungan kasih, juga dilandasi oleh prinsip kebenaran (Yohanes 14:6). Kebenaran dalam ayat ini adalah ἀλήθεια yang berarti sesuatu yang benar-benar ada, benar-benar terjadi, suatu realita. Sedangkan pada Lukas 1:4, istilah yang dipakai adalah τὴν ἀσφάλειαν yang artinya adalah suatu realita yang aman (secure) untuk dipercayai.

[Hubungan antara Aletheia dan Asfaleia: Yesus adalah Aletheia, sumber realitas. Berita tentang Yesus adalah Asfaleia, realita yang benar-benar terjadi sehingga aman untuk dipercaya.]

Kekristenan adalah suatu kepercayaan atau system of belief yang tahan terhadap berbagai ujian, misalnya ujian lokasi, ujian sejarah, ujian arkeologi karena kekristenan mengajarkan kebenaran melalui suatu peristiwa yang benar-benar terjadi. Tidak ada kepercayaan lain yang dapat diuji seperti seorang ilmuwan menguji kebenaran Alkitab.

Oleh karena itu, sikap mencari kebenaran semacam yang dimiliki Lukas ini seharusnya dipegang oleh orang Kristen sepanjang segala zaman. Tuhan adalah kebenaran. Catatan mengenai Dia juga adalah kebenaran. Tetapi jika orang Kristen bukan orang yang cinta akan kebenaran (seperti Lukas) maka hal itu menjadi sia-sia saja.

Orang yang tidak suka akan kebenaran, tidak akan pernah sungguh-sungguh mengenal Yesus. Dan barangsiapa tidak mengenal Yesus, ia tidak akan memperoleh hidup yang kekal itu. Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus. (Yohanes 17:3)

Banyak orang Kristen yang sudah cukup puas mendengar khotbah orang lain, tetapi sendirinya tidak tertarik untuk mencari kebenaran itu sendiri. Mereka menelan bulat-bulat apa yang dikatakan oleh tokoh agama. Tetapi Lukas, ia mencari tahu kebenaran itu, ia ingin mengenal kebenaran itu.

Banyak orang bisa kagum pada kekristenan, pada ajarannya, pada ketepatannya ditinjau dari sisi sejarah, pada cerita-ceritanya yang mungkin terdengar hebat, tetapi jika orang tidak tertarik pada kebenaran itu, maka bagaimana ia bisa menjalin relasi dengan Sang Kebenaran itu sendiri? Bagaimana ia bisa mengenal Sang Kebenaran? [Baca juga: Mengenal Tuhan lebih penting daripada kekayaan. Klik disini]

Kebenaran belum menjadi suatu kerinduan yang mendalam dari umat Kristen secara keseluruhan. Kiranya sikap Lukas dapat menjadi teladan bagi kita.

Amin.


Summary prinsip Kristen yang penting diambil dari Lukas 1:1-4

  1. Kasih Allah terhadap manusia dan kasih manusia terhadap Allah, dapat mendorong orang lain untuk melakukan apa yang baik dan benar.
  2. Kekristenan adalah suatu sistem kepercayaan yang di bangun berdasarkan relasi kasih.
  3. Kita harus berlajar untuk memuliakan Tuhan dan orang lain.
  4. Kekristenan adalah suatu sistem kepercayaan yang dibangun atas dasar kebenaran yang objektif, dapat ditelusuri, dapat diselidiki. Sebagai orang Kristen kita harus berusaha menjalin relasi pribadi dengan Sang Kebenaran itu sendiri.

Baca juga: 

Kelahiran Yohanes Pembaptis. Klik disini
Mengapa Yesus Kristus menjadi Manusia? Klik disini

Pemberitahuan kelahiran Yesus Kristus. Klik disini
Maria dan Elisabet. Klik disini