Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab
“Kanonisasi Alkitab,” kata-kata ini mungkin terdengar cukup asing bagi
telinga kebanyakan orang Kristen, bukan? Mungkin hanya orang-orang yang pernah
mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi saja yang barangkali sudah akrab
dengan istilah ini. Tetapi apa itu Kanonisasi Alkitab dan mengapa kita orang
awam juga perlu untuk membicarakannya? [Baca juga: Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama terbentuk? Klik disini.]
Menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh adalah menjadi orang yang
senantiasa merenungkan dan mempelajari Firman Tuhan serta mengkaitkannya dengan
kehidupan sehari-hari.
Justru salah satu ciri dari orang yang sudah lahir baru adalah kecenderungannya
yang besar untuk memikirkan apa yang Tuhan katakan melalui Firman-Nya serta
menilai kehidupannya sendiri
berdasarkan Firman itu dari hari ke sehari.
Dan ketika seseorang mulai serius memikirkan Firman, maka cepat atau
lambat mereka akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan di bawah ini:
Mengapa
orang Kristen hanya berpedoman pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saja?
Mengapa
orang Kristen tidak bisa menerima kitab-kitab yang tergabung di dalam kumpulan
kitab yang disebut sebagai Deuterokanonika atau Apocrypa ?
Bagaimana
dengan Injil Barnabas, Injil Maria, Injil Thomas dan Injil Yudas, apakah kita
dapat menerima injil-injil tersebut sebagai Kitab Suci kita?
Di
dunia ini ada begitu banyak kitab yang berbicara tentang hal-hal yang
spiritual. Apakah semua kitab yang membahas persoalan spiritual harus kita
terima begitu saja sebagai kitab suci kita?
Ketika kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang
dipaparkan di atas, maka mau tidak mau kita harus masuk ke dalam pembahasan
tentang Kanonisasi Alkitab tersebut.
Apakah
yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?
Frederick Fyvie Bruce (atau yang lebih dikenal sebagai F.F. Bruce) adalah
salah seorang pakar dalam bidang Kanonisasi Alkitab yang dimiliki oleh dunia
kekristenan. Dalam bukunya, Bruce menulis:
The
word “canon” has a simple meaning. It means the list of books contained in
scripture, the list of books recognized as worthy to be included in the sacred
writings of a worshipping community.
Menurut F.F. Bruce, istilah Kanon (atau Canon) itu sendiri berarti daftar buku-buku yang terdapat di dalam
kitab suci, yaitu daftar dari buku-buku yang dianggap pantas untuk dimasukkan
sebagai tulisan yang suci oleh suatu komunitas para penyembah Yang Ilahi.
Istilah “Kanon” sendiri berasal dari bahasa Yunani yang sama artinya
dengan sebatang tongkat (a rod).
Yaitu sebatang tongkat berbentuk lurus yang biasa dipakai sebagai tongkat
pengukur. Di zaman kita, apalagi di Indonesia, mungkin akan lebih mudah jika
kita membayangkan apa yang dimaksudkan oleh istilah “Kanon” itu sebagai
sebatang penggaris yang biasa dibawa-bawa oleh anak sekolah ataupun sebatang
tongkat kayu pengukur yang biasa dipakai oleh para penjual bahan kain.
Jadi secara prinsip, melalui kata Kanon ini, sebuah komunitas penganut
kepercayaan tertentu
membuat suatu daftar atau ukuran terhadap kitab-kitab mana saja yang dapat
mereka terima, dan kitab-kitab mana saja yang tidak dapat mereka terima sebagai
dasar bagi iman kepercayaan mereka.
Pada bagian ini,
Bruce melihat bahwa proses kanonisasi bukan semata-mata milik dunia kekristenan
saja, melainkan merupakan hal yang secara natural pasti akan dilakukan oleh
setiap komunitas yang menyembah suatu entitas ke-Ilahi-an. Di dalam agama
apapun, di dalam kepercayaan apapun, para penyembah itu memiliki semacam ukuran
atau daftar dari kitab-kitab apa saja atau tulisan-tulisan apa saja yang
dianggap merupakan tulisan suci yang mempunyai kekuatan untuk mengatur
kehidupan orang yang percaya.
Dan tentang hal
itu, Bruce mengambil contoh dari kanonisasi kitab lain di luar kekristenan,
sebagaimana yang ia katakan di bawah ini:
Many religions have sacred books associated with their
traditions or their worship. There was a once-famous series of volumes entitled
“The Sacred Books of the East.”
The Sacred Books of the East? Kita bahkan baru pertama kali mendengar hal itu dan kita tidak tahu
kumpulan buku apa sajakah itu? Tetapi di sini F.F. Bruce mengatakan bahwa untuk
kumpulan buku-buku “tidak populer” semacam itupun orang membuat kanonisasinya
sedemikian rupa agar siapapun dapat mendefinisikan kepercayaan apa yang
diajarkan kepada penganutnya melalui buku-buku tersebut.
Dari F.F Bruce kita dapat belajar bahwa apa yang kita percayai, dapat
didefinisikan dari buku-buku apa saja
yang kita jadikan pegangan bagi kepercayaan itu.
Meskipun istilah “Kanonisasi” bukan semata-mata milik dunia kekristenan,
tetapi di dalam tulisan ini saya akan membatasi fokus pembahasan kita pada
Kanonisasi Alkitab saja. Dan tentang hal itu, F.F. Bruce mengatakan: In a Christian
context, we might define the word as “the list of the writings acknowledged by
the Church as documents of the divine revelation.
Jadi berdasarkan definisi yang diberikan oleh Bruce di atas, Kanonisasi
Alkitab dapat kita pahami sebagai: Daftar tulisan yang diakui oleh gereja sebagai
dokumen yang merupakan penyataan Ilahi (God
Revelation)
Apakah
arti penting dari proses Kanonisasi Alkitab?
Baik pada zaman sebelum Yesus Kristus hadir di dunia, maupun setelah
Tuhan kita yang mulia itu naik kembali ke sorga, ada sangat banyak
tulisan-tulisan yang memuat hal-hal yang spiritual. Meskipun demikian, hal itu tidaklah berarti
bahwa setiap tulisan yang bersifat spiritual itu pasti dapat diakui sebagai
Kitab Suci oleh umat yang percaya kepada Yesus Kristus.
Sebab kekeliruan kita dalam menerima atau menolak suatu kitab ke dalam daftar
Kitab Suci akan memberi pengaruh yang besar sekali terhadap bagaimana kita
mengenal pikiran, perasaan dan kehedak Allah bagi manusia.
Untuk itulah maka dibutuhkan suatu perhatian terhadap kitab-kitab mana
saja yang diakui sebagai Kitab Suci dan kitab-kitab mana saja yang tidak
termasuk. Tanpa adanya pemahaman yang mendasar tentang hal ini, maka
pembicaraan tentang Allah, manusia, seluruh ciptaan dan segala hubungan yang
tercipta di antaranya akan mustahil terjadi.
Sebab ketika kita bicara tentang Allah misalnya, maka kita perlu
bertanya; Allah macam apa yang sedang kita bicarakan? Dan ketika kita
mengatakan Allah seperti ini atau Allah seperti itu, maka pertanyaan
selanjutnya adalah: darimana kita tahu bahwa Allah adalah seperti ini dan bukan
seperti itu?
Tanpa adanya suatu
kejelasan dari apa yang menjadi dasar bagi iman seseorang, maka pembicaraan
tentang iman akan menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Atau, apabila kita mencoba memaksakan hal tersebut, maka hasilnya
adalah suatu gambaran yang sangat karikatural dan tidak riil dari sosok Allah
yang kita imani tersebut. Setiap orang dapat membuat sendiri figure Allah sesuka hatinya tanpa ada
ukuran apapun yang memberitahukan di manakah letak batasan-batasannya.
Jika melalui F.F. Bruce, kita belajar bahwa setiap iman dan kepercayaan
memiliki aturan dasar bagi terbentuknya kepercayaan itu. Maka sekarang kita
akan melihat bahwa bahkan seorang yang senantiasa
ragu-ragu
pun harus memiliki seperangkat aturan dasar di dalam cara berpikir mereka untuk
membawa mereka pada kesimpulan bahwa segala sesuatu harus diragu-ragukan.
John M.Frame,
seorang profesor Apologetika dan Teologi di Westminster
Theological Seminary, melukiskan keadaan tersebut di atas dengan cara yang
sangat gamblang, yaitu sebagai berikut :
Every philosophy must use its own
standards in proving its conclusions; otherwise, it is simply inconsistent.
Those who believe that human reason is the ultimate authority (rationalists)
must presuppose the authority of reason in their arguments for rationalism.
Those who believe in the ultimacy of sense experience must presuppose it in
arguing for their philosophy (empiricism). And skeptics must be skeptical of
their own skepticism. The point is that when one is arguing for an ultimate
criterion whether Scripture, the Koran, human reason, sensation, or whatever,
one must use criteria compatibel with that conclusion.
Sebagaimana dapat kita baca dalam tulisan di atas, John M.Frame
mengatakan bahwa setiap filosofi
harus memakai suatu standard untuk
membuktikan kesimpulan mereka.
Atau kalau boleh saya parafrasakan; setiap sistem kepercayaan harus
memiliki ukurannya sendiri atau standard-nya sendiri atau kriterianya sendiri
untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada satupun sistem
kepercayaan di dunia ini yang tidak memiliki standard-nya sendiri, bahkan seorang skeptis pun harus berpedoman
pada skepticism itu sendiri agar ia
dapat tetap menjadi seorang skeptis.
Apa yang dipercayai oleh seseorang sangat menentukan bagaimana ia akan menjalani
kehidupan ini. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia percaya kepada ajaran Kitab
Suci, maka secara natural orang itu harus tahu apa yang ia maksudkan dengan
Kitab Suci, sebab kitab apa yang ia percayai sangat menentukan jenis kehidupan
apa yang akan ia jalani.
Seorang yang diajar untuk membunuh orang kafir, sudah pasti akan
menjalani hidup dengan cara yang berbeda dengan seorang lain yang diajar untuk
mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Orang yang diajar bahwa dirinya
adalah hasil evolusi binatang kera, akan memiliki cara pandang kehidupan yang
berbeda dengan orang yang diajar bahwa dirinya dicipta menurut gambar dan
teladan Allah.
Seorang yang yakin bahwa ada penghakiman setelah kematian, pasti akan
menjalani hidup yang berbeda dengan orang lain yang merasa yakin bahwa tidak
ada apa-apa yang perlu dihadapi setelah kematian datang menjemput. Orang yang
diajar bahwa manusia terbagi-bagi ke dalam berbagai kasta pasti akan menjalani
hidup yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa manusia pada dasarnya adalah
sama di hadapan Sang Pencipta.
Orang yang diajar bahwa manusia adalah allah bagi dirinya sendiri, sudah
pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan manusia yang diajar untuk menyembah
kepada Sang Pencipta. Orang yang diajar bahwa kita harus berbuat baik untuk
masuk ke sorga, pasti akan memiliki sikap hati yang berbeda di hadapan Allah
dibandingkan dengan orang yang diajar bahwa keselamatan adalah sebuah anugerah.
Pada suatu waktu, saya pernah terlibat pembicaraan dengan orang yang
memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan saya. Kawan saya itu adalah orang
yang percaya bahwa apabila seorang manusia meninggal dunia, maka ia akan
dilahirkan kembali ke dalam dunia ini. Ia tidak percaya bahwa manusia akan
dihakimi oleh Sosok Ilahi yang tampil sebagai Hakim bagi seluruh umat manusia.
Kepada dia saya berkata: seandainya ternyata kepercayaanmu yang benar,
maka apa susahnya bagi saya? Saya juga akan terlahir kembali seperti kamu. Kamu
tidak jahat, dan saya juga tidak jahat, kita sama-sama punya peluang untuk
kehidupan yang baik atau setidaknya sama dengan kehidupan yang kita kenal
sekarang ini.
Tetapi bagaimana jika kepercayaan saya yang akan menjadi kenyataan? Maka
engkau akan mati tanpa Kristus dan akan menghadapi penghakiman kekal setelah
engkau mati. Tetapi saya, saya akan mati di dalam Kristus dan saya akan menikmati
relasi kekal dengan Yesus Kristus yang telah saya percayai dan telah saya
layani semenjak saya masih hidup di dunia ini.
Point saya adalah, apa yang kita
percayai itu, bukan hanya akan mempengaruhi hidup kita di masa sekarang ini,
tetapi juga akan menentukan kehidupan kita setelah kematian. Sebab, apa yang
kita percayai itu ternyata sangat berpengaruh pula pada bagaimana sikap Tuhan
terhadap kita.
Kisah
Tuhan Yesus dan orang Saduki
Pada suatu hari, Tuhan Yesus berjumpa dengan orang-orang Saduki yang
menantang Dia dengan suatu kasus seperti ini:
19"Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika
seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati dengan meninggalkan seorang
isteri tetapi tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya
itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. 20Adalah tujuh
orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan dan mati dengan
tidak meninggalkan keturunan. 21Lalu yang kedua juga mengawini dia
dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Demikian juga dengan yang ketiga.
22Dan begitulah seterusnya, ketujuhnya tidak meninggalkan keturunan.
Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati. 23Pada
hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang menjadi suami
perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia."
Mengapa orang Saduki menantang Tuhan Yesus dengan cara seperti ini? Orang
Saduki
adalah orang yang hanya percaya kepada lima Kitab Taurat saja dan mereka
tidak menganggap Kitab Para Nabi sebagai Kitab Suci. Sebagai akibat
dari penolakan tersebut, orang Saduki tidak pernah mempercayai adanya
kebangkitan dari orang mati.
Padahal justru di luar Kitab Taurat itulah ajaran tentang kebangkitan diberikan
dengan jelas dan gamblang.
Bagaimana kira-kira respon Tuhan Yesus terhadap orang Saduki yang gagal
mengenal jalan pikiran Tuhan sebagai akibat penolakan mereka kepada Kitab Suci?
Apakah Tuhan Yesus akan berkata dengan lembut seperti ini?:
Oh...saudara-Ku, Aku maklum kalau
kalian tidak percaya pada kebangkitan, sebab kalian hanya percaya kepada kitab
Musa saja, bukan? Okelah, tidak masalah, sebab yang terutama bagi-Ku adalah kalian
sudah memiliki suatu iman kepercayaan tertentu, tidak jadi soal apa isi dari
iman kepercayaan kalian itu, yang penting hiduplah saja sesuai dengan apapun
yang kalian percayai tersebut.
Begitukah jawaban Tuhan Yesus? Tuhan Yesus yang telah kita ciptakan
sendiri di dalam pikiran kita yang berdosa mungkin akan berkata seperti itu.
Tetapi Tuhan Yesus yang dinyatakan oleh Alkitab ternyata menjawab seperti ini:
Jawab Yesus kepada mereka: "Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab
Suci maupun kuasa Allah. Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati,
orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di
sorga. Dan juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam
kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah
kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah
orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kamu
benar-benar sesat !"
Tuhan Yesus menghardik dan memarahi orang Saduki karena mereka tidak
mengerti Kitab Suci serta tidak memahami kuasa Allah. Penolakan mereka terhadap
Kitab Para Nabi telah berbuahkan kesalahan yang fatal di dalam pengenalan
mereka terhadap Allah yang sejati. Dan untuk perbuatan itu, Tuhan Yesus berkata:
Kamu benar-benar sesat.
Bukan satu kali saja Yesus Kristus berkata seperti itu, tetapi sampai dua kali,
menandakan suatu ekspresi kegusaran yang ada di dalam hati Tuhan kita.
Orang Saduki menuai kemarahan Tuhan Yesus karena mereka menolak untuk
mempercayai kitab-kitab di luar Lima Kitab Musa sebagai Kitab Suci. Akibat
penolakan tersebut, mereka gagal mengenal Pribadi Tuhan yang sejati. Dari sini
kita belajar bahwa kekeliruan kita dalam memahami kitab-kitab mana yang
termasuk dalam Kitab Suci dan kitab-kitab mana yang bukan termasuk Kitab Suci
ternyata bukan saja berakibat kesalahan di dalam bertindak, tetapi juga dapat
berakibat timbulnya kemarahan Tuhan terhadap kita.
Akhir
kata
Jadi kalau boleh saya summary-kan,
alasan mengapa kita perlu memikirkan tentang Kanonisasi Alkitab adalah:
1. Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia yang tidak memiliki standard. Sebagai orang kristen, adalah
wajib bagi kita untuk memahami standard
apakah yang kita pakai untuk menentukan sebuah kebenaran?
2. Kitab-kitab apa saja yang seharusnya kita percayai sebagai standard kebenaran tersebut?
3. Mengapa kitab-kitab tersebut kita pilih untuk kita percayai, dan bukan
kitab yang lain?
4. Apa yang kita percayai, mempengaruhi cara pandang kita terhadap Tuhan,
terhadap sesama, terhadap diri sendiri dan terhadap seluruh aspek kehidupan.
5. Apa yang kita percayai, mempengaruhi juga cara Tuhan memandang diri kita.
Berbagai pertanyaan dan kesimpulan di atas, selanjutnya akan membawa kita
untuk masuk ke dalam pembahasan tentang kanonisasi Perjanjian Lama dan
Kanonisasi Perjanjian Baru, yang akan kita lakukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan kecintaan
akan Firman-Nya. Amin. (Oleh: Izar tirta)