… mengandunglah
perempuan itu, lalu melahirkan Kain;
maka kata
perempuan itu: "Aku telah mendapat
seorang anak
laki-laki dengan pertolongan TUHAN."… (Kejadian 4:1)
“Semua orang pada dasarnya baik”
– benarkah?
Jay
Austin adalah seorang pria Amerika lulusan Georgetown
University yang bekerja di the United States Department of Housing and Urban
Development. Sejak tahun 2012, Jay
menjalin asmara dengan seorang gadis yang kebetulan berasal dari almamater yang
sama dengan Jay. Nama perempuan itu adalah Lauren Geoghegan. Lauren masih bekerja
di bagian administrasi kampus ketika bertemu dengan Jay pertama kali.
[Baca juga: Apa tandanya seseorang sudah menerima anugerah dari Allah? Klik disini.]
Entah
apa yang ada di dalam pikiran Jay dan Lauren, ketika mereka memutuskan untuk
berhenti dari pekerjaan mereka dan memulai sebuah pengalaman baru dalam hidup
mereka. Bulan Juli 2017 adalah momen yang mereka pilih untuk meninggalkan
kehidupan lama yang telah mereka kenal selama ini, lalu mulai bertualang dengan
hanya mengendarai sepeda ke tempat-tempat yang belum pernah mereka jelajahi
sebelumnya.
Jay
dan Lauren sering mendokumentasikan pengalaman mereka dalam sebuah blog dan di bulan Desember 2017,
pasangan yang sempat mencuri perhatian dunia ini dikabarkan telah tiba di
Eropa. Dalam blog mereka, Jay dan
Lauren sempat mengungkapkan latar belakang kepergian mereka, yaitu dalam rangka
membuktikan bahwa “humans are kind”
dan bahwa kejahatan atau evil, tidak
lebih dari sebuah “make-believe concept”
semata-mata.
Keyakinan
tinggal keyakinan, seberapa pun kuatnya
keyakinan seseorang terhadap sesuatu, tidak mengubah begitu saja realita dunia
yang ada.[1]
Pada tanggal 29 Juli 2018, ketika Jay, Lauren dan dua simpatisan pesepeda lain
yang berasal dari Swiss dan Belanda sedang bersantai mengayuh sepeda mereka di
daerah Tajikistan, sebuah mobil yang diisi oleh lima pria berpenampilan garang melewati
iring-iringan sepeda mereka.
Pada
awalnya, Jay dan Lauren tetap tenang ketika mobil itu berhenti di depan mereka.
Mereka yakin bahwa semua manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik, dan
bahwa kejahatan bukanlah suatu konsep yang riil. Tetapi keyakinan mereka itu
agaknya tidak bertahan lama pada hari itu, mana kala kelima pria itu turun dari
mobil, mengeluarkan pisau, parang dan senjata tajam lainnya sambil berjalan
menghampiri mereka.
Tidak
ada kata-kata, tidak ada dialog, bahkan Jay dan Lauren tidak sempat memohon
belas kasihan pada lima pria itu. Satu persatu mereka roboh ke tanah, bersimbah
darah setelah dihujam berkali-kali dengan senjata tajam. Mayat mereka berempat tergeletak
di jalan tempat mereka dibunuh tanpa belas kasihan dan lima pria tersebut
meninggalkan begitu saja tubuh-tubuh tak bernyawa itu karena tidak sudi
berhubungan dengan apapun yang mereka anggap kafir.
Dua
hari kemudian, The Islamic State atau
yang lebih kita kenal sebagai ISIS mengeluarkan video rekaman untuk mengomentari
peristiwa tersebut. Tanpa menyesal sedikitpun ISIS menyatakan bahwa merekalah
yang melakukan hal itu karena mereka telah bersumpah untuk membunuh semua kaum non-believer yang mereka temui.
Berbeda
dengan anggapan Jay dan Lauren, manusia sebetulnya bukan makhluk yang baik. Semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan
mempunyai potensi untuk melukai atau bahkan mencelakakan sesamanya. Hanya
karena anugerah Allah saja, dunia ini masih bisa berjalan tanpa setiap manusia
berusaha memangsa manusia lainnya.[2]
Lauren
sebetulnya bukan satu-satunya perempuan yang keliru dalam membuat perkiraan
terhadap perilaku manusia. Perempuan pertama yang ada di dunia ini pun tidak
luput dari kesalahan serupa.
Dan Kain pun
lahir
Setelah
dirundung duka karena mendapat hukuman dari Tuhan dan diusir dari Taman Eden, Hawa
kini dapat merasa bersyukur kembali dengan adanya kehamilan dan terutama dengan
lahirnya seorang anak laki-laki. Meskipun Hawa telah jatuh ke dalam dosa, namun
di dalam anugerah Tuhan, Hawa masih bisa melihat kelahiran tersebut sebagai
hadiah atau pertolongan dari TUHAN. Bagaimana pun sikap positif semacam ini
patut kita acungi jempol bukan? [Baca juga: Kelahiran Kain. Klik disini.]
Pada
saat itu, proses lahirnya seorang manusia dari dalam rahim seorang perempuan
adalah hal yang sama sekali baru. Bagi Hawa peristiwa itu sangat mungkin
benar-benar terasa bagaikan sebuah keajaiban. Sehingga Hawa menyadari bahwa
tanpa pertolongan dari TUHAN atau Yahweh maka tidak mungkin dirinya yang telah
jatuh ke dalam dosa itu dapat mengeluarkan atau menghasilkan atau seolah-olah
“menciptakan” manusia yang baru. Ada rasa takjub dan kagum di dalam kalimat yang
diucapkan oleh Hawa.
Hawa
pasti tidak lupa, bagaimana Tuhan menghukum dirinya dengan rasa sakit bersalin
yang sangat hebat. Pada era sebelum ditemukannya metode bedah untuk
mengeluarkan bayi dari dalam kandungan, hampir semua proses kelahiran merupakan
saat-saat menakutkan bagi seorang calon ibu. Nyawa seorang wanita sering
dilukiskan sebagai telur yang berada di ujung tanduk ketika mereka meregang
kesakitan oleh karena proses kelahiran sang bayi.
Itu
sebabnya ketika Hawa dan sang bayi itu akhirnya dapat melewati proses kelahiran
ini dengan selamat, ada ungkapan syukur yang begitu besar keluar dari hati Hawa
atas kebaikan Tuhan yang masih bersedia menolong dirinya.[3]
Selain itu, ucapan
syukur Hawa sangat mungkin berkaitan erat pula dengan cara Hawa menafsirkan ucapan
Tuhan di Taman Eden. Tuhan pernah berkata:
Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan
perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan me-remukkan
kepalamu, dan engkau akan meremuk-kan tumitnya." (Kej 3:15)
Sangat
mungkin Hawa beranggapan bahwa Kain-lah anak yang akan menghancurkan kepala si
ular itu. Tidak sedikitpun terbersit dalam benak wanita pertama ini, bahwa anak
sulungnya itulah yang justru merupakan representasi dari keturunan si ular itu
sendiri. [Baca juga: Apakah Allah pernah bermusuhan? Klik disini]
Dalam bahasa Ibrani perkataan
Hawa adalah Qaniti ish et Yahweh.
Yang
diterjemahkan: Aku telah mendapatkan seorang laki-laki dari Yahweh.
Tidak
sedikit penafsir yang melihat keterkaitan antara Qaniti dalam kalimat ini dengan nama Kain sendiri, yang dalam
bahasa aslinya tertulis Qayin.
Sehingga mereka melihat bahwa nama Kain sendiri mengandung arti “mendapatkan”
atau acquire dalam bahasa Inggris.
Di
sisi lain, Gerhard Von Rad, pakar Perjanjian Lama, melihat bahwa nama Qayin itu sama artinya dengan tombak (spear), sebagaimana tertulis dalam 2 Sam
21:16 yang berbunyi: “Yisbi-Benob, yang termasuk keturunan raksasa--berat
tombaknya tiga ratus syikal tembaga..” Kata tombak dalam ayat tersebut adalah qenow
yang juga mirip dengan nama Kain.
Tetapi
saya pribadi lebih setuju dengan orang-orang yang menafsirkan arti nama Kain
sebagai “acquire” ketimbang “spear.” Karena saya melihat arti nama
tersebut akan sangat kontras dengan arti dari nama Habel.[4]
Namun pada kesempatan ini, kita akan lebih dulu memusatkan perhatian kita pada sosok Kain, bukan dari arti namanya, tetapi dari
bagaimana Hawa mengekspresikan sikap hatinya atas kelahiran Kain tersebut.
Jika
kita perhatikan dengan seksama kalimat Hawa di atas, maka kita akan dapati bahwa
istilah yang dipakai oleh Hawa untuk menunjuk kepada Kain adalah ish “seorang laki-laki” (a man) bukan “anak laki-laki” (a boy) sebagaimana yang digunakan oleh
LAI. Dalam bahasa Ibrani, istilah anak laki-laki seharusnya memakai istilah yeled.
Jika
demikian, mengapa Hawa memakai istilah “seorang laki-laki” untuk menunjuk pada
Kain yang saat itu masih bayi? Bukankah istilah “anak laki-laki” seharusnya
lebih sesuai? Hal ini mungkin sekali karena Hawa melihat bayi itu bukan
terutama dalam kondisinya sebagai bayi, melainkan dalam statusnya sebagai wakil
dari umat manusia yang akan mengalahkan kuasa kejahatan itu. Di mata ibunya,
Kain adalah pengharapan baru umat manusia, setelah kejatuhan Adam dan Hawa
sendiri.
Kita
lihat di sini, betapa besar Hawa telah berharap pada Kain, bukan? Tapi dalam
keterbatasannya sebagai manusia, Hawa tidak benar-benar sadar betapa merusaknya
sifat berdosa yang telah ia turunkan kepada putra pertamanya itu.[5]
Sehingga untuk berharap kepada seorang manusia yang telah jatuh ke dalam dosa,
adalah sama saja dengan upaya untuk menjaring angin.
Jadi, kepada
siapa kita harus berharap?
Manusia
dapat saja menaruh suatu pengharapan yang besar di atas diri manusia yang lain.
Namun dalam konteks dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita tahu bahwa
pengharapan kepada seorang manusia adalah sesuatu yang sangat keliru. Saya
pikir Lauren akhirnya sempat sadar akan hal itu, walau sudah terlambat bagi dia
untuk menceritakannya sendiri pada kita. Hawa juga belakangan tahu akan kekeliruannya tersebut.
Bagaimana
dengan kita? Kita juga sebetulnya tidak kebal terhadap kesalahan semacam ini,
bukan? Tanpa kita sadari, kita juga sering menaruh harapan pada orang-orang
tertentu dalam hidup kita. Ada orang yang sangat berharap pada anaknya. Ada
juga orang yang berharap pada pasangannya, atau orang tuanya. Ada orang yang
berharap pada pendetanya, atau pimpinan perusahaannya, atau pemuka agama atau
siapapun. Kisah Lauren dan kisah Hawa mengingatkan kita bahwa menaruh pengharapan
kepada manusia, atau meletakkan keyakinan
penuh pada makhluk yang sudah jatuh ke dalam dosa, adalah sesuatu yang sangat
rentan terhadap kesalahan.
Mari
kita perhatikan nasihat nabi Yesaya yang berkata demikian:
Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas,
dan sebagai apakah ia dapat dianggap? (Yesaya 2:22)
Dan
biarlah raja Daud menutup pembahasan kita kali ini dengan sebuah nasihat:
Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya! (Mazmur 131:3)
Kiranya
Tuhan Yesus memberkati kita dengan keberanian untuk senantiasa hanya berharap kepada
Dia. Bersambung ke "Makna kelahiran Habel" (klik disini)
Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apakah pesan yang kita dapat dari kelahiran Kain? Klik disini
Apakah semua orang pada dasarnya baik?
Apakah ajaran dunia tentang iman dan kepercayaan?
Apakah ajaran Alkitab tentang iman dan kepercayaan? Klik disini
Mengapa manusia sering melukai sesamanya?
Mengapa kebaikan manusia tidak dapat dipercayai?
Mengapa kesalehan manusia tidak dapat diandalkan?
Apakah kanibalisme dan gladiator masih ada hingga sekarang?
Mengapa Hawa merasa bahagia dengan kelahiran Kain?
Apakah pandangan Hawa terhadap Kain?
Apakah arti dari nama Kain?
Mengapa Hawa menyebut Kain seorang laki-laki?
Mengapa Hawa tidak menyebut Kain sebagai seorang anak
laki-laki?
Apakah Alkitab mengajarkan tentang pengharapan kepada
manusia?
Apakah kita boleh berharap kepada manusia?
Mengapa kita sering dikecewakan oleh sesama kita?
Mengapa orang tua bisa dikecewakan oleh anaknya sendiri?
Mengapa pacar kita melukai perasaan kita?
Apakah kita boleh berharap pada suami?
Apakah kita boleh berharap pada istri?
Apakah ajaran Alkitab mengenai pengharapan terhadap manusia?
Apakah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya?
Apakah ajaran Alkitab tentang warisan dosa? Klik disini
[1]
Dunia mengajarkan, jika kita cukup yakin, maka apa yang kita yakini itu akan
menjadi kenyataan. Tetapi Alkitab mengajarkan, justru karena terlebih dulu ada sebuah
kenyataan, maka keyakinan itu mempunyai dasar untuk berpijak. Dalam kekristenan
yang dibangun di atas Alkitab, yang
terpenting bukan seberapa besar keyakinan kita, melainkan di mana atau kepada
siapa kita meletakkan keyakinan tersebut. Iman sebesar biji sesawi pun
dapat berguna ketika iman itu diletakkan di atas Kristus, Batu Karang yang
teguh itu.
[2]
Secara umum masyarakat kita memang tidak lagi hidup dalam era kanibalisme
ataupun gladiator. Kita tidak lagi hidup pada zaman dimana setiap perselisihan
diselesaikan dengan perkelahian yang sadis berdarah-darah. Tetapi siapakah di
antara kita yang dapat menyangkal bahwa dalam artian yang berbeda, kita masih
sering memangsa sesama kita? Dalam artian yang tidak terlalu fisikal, bukankah
kita senantiasa masih berperang antara satu sama lain? Perusahaan besar masih
senantiasa ingin menaklukkan dan menelan perusahaan yang lebih kecil. Bangsa
yang superpower masih senantiasa
ingin menguasai bangsa lain yang lebih lemah. Jika tidak menguasai secara
militer, maka setidaknya menguasai secara ekonomi. Dan tentu saja kita semua
sadar bahwa walaupun Perang Dunia II telah lama berakhir, di berbagai belahan
dunia masih saja terjadi peperangan demi peperangan yang merenggut banyak korban
jiwa hingga saat ini. Dan kalau kita pikir bahwa kanibalisme dan gladiator
adalah kisah masa lalu, maka mungkin kita perlu lebih banyak membaca lagi agar
disadarkan bahwa praktek-praktek itu ternyata masih kerap terjadi di tengah
dunia moden ini.
[3]
Orang yang luput dari bencana besar, pasti lebih bersyukur daripada orang yang
tidak pernah benar-benar merasakan ancaman dari suatu bencana yang besar.
[4]
Kita akan membahas arti nama Kain serta perbandingannya dengan arti nama Habel dalam
suatu tulisan yang terpisah.
[5] Menurut
Alkitab, warisan pertama yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya adalah
bibit dosa. Itu sebabnya setiap kita, baik sebagai orang tua, maupun sebagai
anak, membutuhkan penebusan Yesus Kristus. Mencoba menyelesaikan masalah ini
dengan jalan kesalehan agama, adalah suatu upaya menjaring angin.